Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Denny Siregar: Deja Vu Soekarno 1965 dan Jokowi 2020

11 Juli 2020 | Juli 11, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-07-11T00:25:08Z
SuaraNias.Com - Mari kita belajar sejarah. Sesudah selesai perang dunia kedua tahun 1945, dunia terbelah oleh dua ideologi besar, yaitu ideologi komunis dan kapitalis. Ideologi kapitalis ini diwakili Amerika dan sebagian negara-negara Eropa, sedangkan komunisme diwakili gabungan negara-negara di sebagian Eropa dipimpin Rusia bernama Uni Soviet, juga oleh China._

Perang kedua ideologi itu berpengaruh besar pada banyak negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pada tahun pemerintahan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, negeri ini diguncang dua ideologi ini. Ideologi komunis di Indonesia diwakili Partai Komunis Indonesia atau PKI. Partai ini pelan-pelan menjadi besar dan dianggap sebagai ancaman oleh Amerika.

Meskipun Indonesia mendeklarasikan diri sebagai non-blok, atau tidak berpihak pada satu ideologi apa pun, tapi panasnya api perang kedua ideologi itu tetap saja berpengaruh kepada kita.

Tapi menariknya, Indonesia tidak seperti di Vietnam misalnya, di mana kedua ideologi ini berperang dan membagi Vietnam jadi dua. Indonesia modelnya berbeda, proses pertarungan ideologi ini dimainkan dengan model membangkitkan sentimen agama dan ketakutan bahwa komunisme itu ateis atau tidak bertuhan. Sedangkan di Indonesia yang religius, konsep tidak bertuhan ini menjadi masalah besar.

Dan akhirnya Soekarno pun difitnah memilih model komunisme sehingga ia dengan mudah dijatuhkan. Terjadilah peristiwa mengerikan pada tahun 1965, di mana dikabarkan 1 juta jiwa orang yang dianggap komunis, dibantai. Dan Soeharto pun diangkat sebagai Presiden kedua, sekaligus mengokohkan posisi Amerika di Indonesia dalam penerapan kapitalisme. Dan seperti ada balas jasa, dua tahun sesudahnya, yaitu tahun 1967 Amerika menguasai tambang besar di Papua, yang dinamakan Freeport.

Tahun 2020 ini kita seperti mengalami deja vu. Amerika dan China kembali berperang, hanya kali ini bukan perang ideologi, tapi perang dagang. Amerika dan China saling memboikot produknya, dan banyak negara yang terimbas oleh perang dagang kedua negara ini.

Kalau kita melihat dari awal sampai akhir, kita menemukan satu benang merah kesimpulan, bahwa ujung dari semua itu adalah perebutan sumber daya alam di sebuah negara. Dan Indonesia termasuk negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Di sini hampir semua ada dan berlimpah, sehingga ada lagu lama dari Koes Plus yang syairnya berbunyi begini, "Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman." Lagu ini menggambarkan betapa kaya negeri ini dengan sumber daya alamnya.

Tahun 2020 ini kita seperti mengalami deja vu. Amerika dan China kembali berperang, hanya kali ini bukan perang ideologi, tapi perang dagang. Amerika dan China saling memboikot produknya, dan banyak negara yang terimbas oleh perang dagang kedua negara ini.

Indonesia posisinya sama seperti dulu, tetap mengandalkan sumber daya alam sebagai bagian tercantik dirinya. Cuma kalau dulu yang dieksploitasi adalah emas dan minyak, sekarang nikel menjadi primadona.

Kenapa nikel? Karena dunia sudah menuju teknologi yang membutuhkan bahan baku nikel sebagai sumber utamanya. Menurut sumber dari Kementerian ESDM, Indonesia adalah negara dengan cadangan biji nikel terbesar di dunia. Lebih dari 30 persen cadangan nikel di dunia, ada di Indonesia. Nomor dua adalah Australia yang punya lebih dari 20 persen cadangan biji nikel, baru kemudian diikuti Brazil, Rusia, Kuba, Filipina, dan Afrika Selatan.

Bahkan pada tahun 2019, Indonesia dinobatkan sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Dahsyat, kan? Kecantikan ini bisa jadi kebanggaan sekaligus situasi bahaya buat Indonesia. Belajar dari pengalaman tahun 1965, perang dua negara besar, Amerika dan China, selalu berujung pada penguasaan sumber daya alam di sebuah negara.

Dan ketika kembali kedua negara ini berperang dalam konsep perdagangan, kita juga harus waspada bahwa Indonesia kembali akan jadi pelanduk yang mati di tengah-tengah ketika dua gajah bertarung. Tanda-tandanya sudah ada, kalau kita mau jeli melihat.

Ketika Jokowi memimpin negara, situasi politik pun berubah. Jokowi itu seperti Soekarno, menempatkan kembali konsep Non-Blok, sesuai dengan porsinya. Jadi, tidak memihak pada salah satu negara.

Dan dalam perang dagang ini, Jokowi memainkan strategi penting bahwa dia akan memilih negara bukan berdasarkan ideologi atau kepentingannya, tetapi berdasarkan tawaran yag menarik dalam bentuk kerja sama yang ujungnya harus menguntungkan Indonesia. Dan itu dia terapkan dalam perubahan peraturan dalam pengolahan biji nikel.

Lihat saja narasi adu domba mereka, ada PKI, ada kebencian terhadap China, mencap Jokowi dan PDIP sebagai komunis. Narasi-narasi ini mirip situasi yang terjadi tahun 1965, saat kebencian terhadap China digembar-gemborkan dan Soekarno dicap komunis sehingga terjadi perlawanan.

Biji nikel tidak boleh lagi diekspor mentah, tapi haus diolah dulu supaya harganya lebih mahal. Dan untuk itu dibutuhkan mesin proses yang dinamakan smelter. Negara yang mau beli biji nikel, harus investasi smelter di sini.

Dan China karena konsepnya berdagang, mereka setuju mereka mengalirkan investasinya termasuk teknologi di Indonesia. Itulah makanya banyak TKA China di Sulawesi, karena memang mereka sedang membangun banyak smelter di sini. Beda dengan Eropa yang langsung ngamuk dan menggugat Indonesia ke organisasi dagang dunia atau WTO.

Lalu di mana posisi Amerika? Ini yang saya khawatirkan sebenarnya. Amerika pasti tidak mau kalah, mereka juga akan membangun banyak smelter di sini.Tapi karena bagi mereka posisi terhadap China adalah perang, mereka pun punya strategi perang di sini. Terutama bagaimana mereka bisa menguasai sumber daya alam negeri ini dengan cara murah dan legal, seperti saat tahun 1965.

Amerika tidak mungkin akan menerjunkan pasukannya seperti di Irak karena akan bermasalah dengan dunia internasional dan sangat mahal. Tapi bisa saja mereka menggunakan taktik seperti yang dilakukan di Suriah dengan memanfaatkan kelompok-kelompok radikal berbaju agama.

Dan dari peta perang Suriah, kita bisa melihat dengan jelas, ada kepentingan bisnis antara Amerika dan banyak negara di Eropa dan Asia, dengan para teroris di Suriah yang mereka sebut sebagai 'pemberontak'.

Para teroris ini tentu tidak akan bisa besar, kalau tidak ada investasi besar juga dari negara-negara yang mengucurkan uang ke mereka. Apa kira-kira timbal baliknya? Tentu ladang-ladang minyak di Suriah dan saluran pipa gas yang akan menguntungkan negara-negara besar itu.

Bangkitnya kelompok-kelompok radikal berbaju agama di Indonesia, yang kita sebut kadrun ini, tentu harus diwaspadai benar. Karena mereka bisa saja menjadi proxy dari negara-negara besar. Tentu tidak secara langsung, tapi penyalurannya bisa lewat partai-partai politik atau politisi yang punya kepentingan untuk menguasai negeri ini.

Dan lihat saja narasi adu domba mereka, ada PKI, ada kebencian terhadap China, mencap Jokowi dan PDIP sebagai komunis. Narasi-narasi ini mirip situasi yang terjadi tahun 1965, saat kebencian terhadap China digembar-gemborkan dan Soekarno dicap komunis sehingga terjadi perlawanan.

Semua ini adalah desain besar dan bukan riak-riak kecil saja. Mereka terus melakukan propaganda berulang-ulang di daerah, supaya narasi PKI dan komunis dan kebencian terhadap China semakin terbenam di dalam benak dan akhirnya meledak dalam perlawanan.

Mereka sabar untuk itu, sesabar kita juga dalam melawan propaganda mereka. Secangkir kopi jadi saksi, kita bukan sedang membela Jokowi dalam bentuk sosok, tapi kita membela NKRI supaya bisa tetap berdiri.

Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
×
Berita Terbaru Update